Apakah 3M (Masak, Macak, Manak) Dalam Budaya Patriarki Masih Relevan Untuk Generasi Z?

Oleh: Helena Olivia Prodi Psikologi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Suku Jawa adalah salah satu suku yang cukup besar di Indonesia. Seperti suku-suku lainnya, Suku Jawa juga memiliki ciri khas tersendiri. Salah satu ciri khas dalam masyarakat Jawa adalah budaya patriarki yang masih cukup kental. Masyarakat Jawa memiliki batasan tertentu mengenai hubungan sosial antar gender dimana laki-laki dinilai memiliki kedudukan yang lebih mendominasi daripada perempuan (Astuti & Kristanto, 2022). Budaya patriarki yang masih cukup popular dalam masyarakat Jawa khususnya adalah perempuan yang sudah menjadi istri akan menjadi “konco wingking” (teman belakang) yang berarti seorang istri akan menyerahkan jiwa dan raganya kepada suaminya bahkan menuruti dan taat pada seluruh perkataan suaminya yang dijelaskan dengan “swargo nunut neraka kathut” (mengikuti suami baik di surge maupun neraka) (Pirus et al, 2020). Dalam hal ini istri tidak memiliki kebebasan dalam bertindak dan berkarya, semua harus sesuai dengan perkataan suaminya.

Sebagai “konco wingking”, seorang istri juga terbatas hanya melakukan kegiatan yang berada di rumah atau mengurus rumah. Seorang istri tidak diharapkan mengerjakan kegiatan diluar memasak, berdandan, melahirkan yang sering terdengar sebagai 3M (masak, macak, manak). Arti 3M menurut Mawaddah et al (2021), masak berarti tugas wanita dalam menyediakan makanan dan minuman bagi suami dan anaknya serta mengatur keuangan (anggaran bulanan) keluarga dengan baik. Kemudian macak berarti tugas wanita untuk berdandan supaya terlihat cantik untuk suaminya. Lalu yang terakhir manak artinya tugas seorang wanita untuk mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak. Berdasarkan definisi tersebut digambarkan bahwa tujuan hidup dari seorang wanita hanyalah sebatas menikah dan menjadi ibu rumah tangga tanpa bisa melakukan hal lain diluar rumah seperti bekerja, meniti karir, dan banyak hal lainnya. Selain itu, dalam budaya patriarki yang ada di Suku Jawa, perempuan tidak hanya dibatasi dalam pekerjaan yang diharuskan, namun juga dibatasi secara emosional. Perempuan menurut budaya patriarki ini tidak dibebaskan untuk menyatakan perasaannya dan tidak dibebaskan untuk berbicara secara terbuka (Pirus et al, 2020).

Bacaan Lainnya

Menarik jika melihat budaya patriarki yang ada pada masyarakat Jawa. Namun, saat ini seiring dengan berkembangnya jaman, banyak kritik dan perspektif yang berbeda mengenai budaya patriarki. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Astuti & Kristanto (2022) pada generasi Z (lahir pada tahun 1996-2009) yang memperoleh hasil bahwa orang-orang generasi Z menyatakan bahwa tradisi 3M merupakan tradisi yang baik selama tidak menjadi keharusan dan memaksa. Generasi Z memiliki sudut pandang bahwa perempuan yang bisa menguasai 3M itu baik, tetapi bukan berarti yang tidak menguasai menjadi perempuan yang buruk. Generasi Z juga menyatakan bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki termasuk dalam mendapatkan pendidikan yang setara dan bekerja sesuai dengan minatnya. Kritik mengenai budaya patriarki yang ada di Suku Jawa ini juga disampaikan oleh seorang pahlawan bernama R. A. Kartini yang menjadi tokoh emansipasi wanita pada jaman itu bahkan sampai sekarang. R. A Kartini menjadi tokoh penting yang memperjuangkan hak wanita untuk bersekolah menempuh pendidikan seperti laki-laki sehingga perempuan tidak hanya bisa mengurus rumah tapi juga mencapai cita-citanya. Kritik lain mengenai budaya patriarki juga dipaparkan oleh Jayanthi (2009) yang menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) adalah budaya patriarki dimana laki-laki dipandang lebih berkuasa dari pada perempuan sehingga perempuan merasa lemah dan tidak berdaya.

Berdasarkan berbagai sudut pandang diatas, maka sebenarnya budaya patriarki masih dikenal oleh generasi saat ini yang kebanyakan adalah generasi Z. Mereka setuju jika 3M (masak, macak, manak) adalah sebuah kemampuan yang baik untuk dimiliki oleh seorang wanita, tetapi mereka berpandangan bahwa hal itu bukan menjadi keharusan. Mereka juga menyatakan bahwa budaya yang ada tidak lagi membatasi seorang perempuan untuk berkembang. Bukan berarti jika tidak bisa memenuhi 3M seorang perempuan tidak layak untuk menjadi seorang istri atau merupakan seorang istri yang buruk. Suami dan istri diharapkan dapat saling menghargai dan menghormati satu sama lain untuk bekerjasama melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Sehingga dapat dikatakan 3M menjadi tanggungjawab bersama bagi suami dan istri, bukan menjadi penghalang atau batasan bagi seorang istri.

Astuti, R. D., & Kistanto, N. H. (2022). Tradisi 3M Masyarakat Jawa menurut Perspektif Gen Z Kajian: Feminisme. JP-BSI (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), 7(1), 49-54.
Jayanthi, E. T. (2009). Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pada survivor yang ditangani oleh lembaga sahabat perempuan magelang. DIMENSIA: Jurnal Kajian Sosiologi, 3(2).
Mawaddah, Haalin, Suyitno Suyitno, and Raheni Suhita. (2021). “Javanese Women’s Efforts to Face Patriarchal Culture in the Novel Para Priyayi by Umar Kayam.” International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding 8 (1): 100–110.
Pirus, M., Shahnawi, M., & Nurahmawati, H. (2020). Javanese women identity regarding 3M: Macak-manak-masak values. International Journal of Culture and History, 7(2), 54.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan