Kritik Putra Mahkota Keraton Solo: Seruan Perbaikan dan Komitmen Menjaga NKRI

SOLO– Putra Mahkota Keraton Kasunanan Surakarta, KGPAA Hamengkunegoro, mengungkapkan keprihatinannya terhadap situasi Indonesia melalui unggahan bertajuk “Nyesel Gabung Republik”. Unggahan tersebut menuai perhatian publik dan menjadi bahan diskusi berbagai pihak.

Menanggapi hal itu, Prof.Dr.Dr.K.P.A,Henry Indraguna, S.H.,M.H.,C.R.A Penasihat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar, menyebut pernyataan Putra Mahkota mencerminkan keresahan atas berbagai permasalahan yang berdampak negatif bagi rakyat.

“Kami memahami kegelisahan yang disuarakan Putra Mahkota. Kasus korupsi di Pertamina terkait kualitas Pertamax yang menipu rakyat jelas mengecewakan. Begitu juga dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal 10 ribu pekerja Sritex di Sukoharjo sejak 2024 akibat kebijakan impor tekstil yang bebas. Ini memicu meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan,” ujar Prof. Henry kepada Kabarjoglo di Jakarta, Sabtu (8/3/2025).

Tak hanya itu, kasus korupsi sektor pertambangan, seperti skandal timah senilai Rp 271 triliun, semakin merugikan rakyat karena eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali.

“Yang lebih nyata bagi Keraton Kasunanan adalah janji pembentukan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) yang dijanjikan sejak 1946, namun hingga kini tak kunjung direalisasikan. Bahkan, upaya untuk mewujudkannya pun tidak terlihat. Ini menunjukkan bagaimana Keraton dan masyarakat Solo seolah ditinggalkan tanpa hak istimewa yang dijanjikan,” tegas Profesor dari Unissula Semarang tersebut.

Keprihatinan ini semakin ditegaskan dalam unggahan lain dari Putra Mahkota yang berbunyi “Percuma Republik kalau hanya untuk membohongi.” Unggahan tersebut mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap janji-janji yang tak ditepati. KPA Dany Nur Adiningrat dari Keraton menilai bahwa ini merupakan bentuk satire yang sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Meski demikian, Prof. Henry menekankan bahwa kritik Putra Mahkota ini bukanlah bentuk penolakan terhadap NKRI, melainkan seruan agar negara kembali berpihak kepada rakyat.

“Kritik ini harus disikapi dengan bijak. Pemerintah dan para pemimpin harus mengingat bahwa mereka dipilih sebagai pengelola negara untuk mengabdi kepada rakyat. Begitu juga raja yang memiliki tanggung jawab sebagai penjaga budaya dan wilayah, tetap harus memastikan kesejahteraan rakyatnya,” lanjutnya.

Dalam pandangan Prof. Henry, kritik Putra Mahkota juga sejalan dengan pemikiran Gusti Moeng, Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Solo. Menurutnya, stabilitas nasional perlu dijaga karena unggahan ini datang dari bagian keluarga besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Namun, Gusti Moeng menegaskan bahwa pernyataan Putra Mahkota adalah sikap pribadi, bukan sikap resmi Keraton sebagai lembaga adat.

“Dari pernyataan Gusti Moeng, kita bisa melihat bahwa Keraton Solo tetap teguh pada prinsip bahwa NKRI tidak bisa ditawar. Yang perlu diwaspadai adalah jika ada pihak yang mencoba memanfaatkan situasi ini untuk mengganggu persatuan bangsa,” ujar Prof. Henry, yang juga merupakan fungsionaris Partai Golkar yang membina Dapil Jateng V (Surakarta, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali).

Sebagai penutup, Prof. Henry berharap pemerintah dapat mendengarkan aspirasi Putra Mahkota, terutama terkait perlindungan hak rakyat dan penegakan keadilan, tanpa mengabaikan semangat persatuan sebagaimana ditekankan Gusti Moeng.

“Rakyat yang dirugikan harus didengar, tetapi persatuan tetap harus dijaga. Inilah saatnya para pemimpin negara bertindak nyata dan mengingat bahwa mandat kekuasaan sejatinya berasal dari rakyat,” pungkas Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) tersebut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan