Surakarta – Lima tahun setelah Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 9 Tahun 2019 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) disahkan, implementasinya di sejumlah sekolah belum menunjukkan hasil optimal. Salah satu potret paling nyata bisa dilihat di SMP Negeri 3 Surakarta, yang meskipun telah memasang plang larangan dan menggelar sosialisasi, namun penerapan KTR di lingkungan sekolah masih jauh dari harapan.
Dalam forum publik yang berlangsung Juli 2025 lalu, Kepala SMPN 3 Surakarta Kucisti Ike Retnaningtyas Suryo Putro, S.Pd., M.Pd menyampaikan secara terbuka bahwa upaya menjadikan sekolah sebagai kawasan bebas rokok belum sepenuhnya berhasil.
“Kami sudah pasang plang KTR dan Lingkungan sekitar sekolah belum mendukung, dan budaya merokok masih kuat,” ujarnya.
Anak Masih Terpapar, Sekolah Belum Jadi Ruang Aman
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat 7,4% anak usia 10–18 tahun di Indonesia adalah perokok aktif. Angka ini setara dengan sekitar 5,9 juta anak, memperlihatkan bahwa paparan rokok terhadap kelompok usia rentan masih menjadi masalah nasional.
Di lingkungan SMPN 3 Surakarta, perokok di kalangan siswa masih ditemukan, meski tidak terang-terangan dilakukan di dalam sekolah. Salah satu siswa kelas IX mengungkapkan bahwa beberapa temannya kerap merokok di luar pagar sekolah saat jam istirahat atau setelah pulang.
“Biasanya ditegur saja, tapi nggak ada sanksi. Kadang besoknya mereka merokok lagi,” ucapnya.
Kebijakan Tanpa Pengawasan: Plang Ada, Tapi Aksi Nyata Minim
Perda KTR bukan hanya melarang aktivitas merokok di sekolah, tapi juga menekankan pelarangan penjualan dan promosi rokok di sekitar lingkungan pendidikan. Namun, di lapangan, kurangnya pengawasan dan keterlibatan masyarakat menjadi hambatan utama.
Temuan ini sejalan dengan pengamatan Yayasan KAKAK, lembaga yang aktif dalam advokasi perlindungan anak di Surakarta. Meski belum melakukan pendampingan langsung ke SMPN 3 Surakarta, pihak yayasan menilai tantangan KTR di sekolah-sekolah terjadi karena rendahnya komitmen kolektif.
“Plang saja tidak cukup. Diperlukan peran aktif dari kepala sekolah, guru, orang tua, dan siswa. Tanpa aksi nyata, regulasi mandek,” kata Wahyu Setyaningrum, pegiat dari Yayasan KAKAK.
Sekolah Ramah Anak yang Masih Dipertanyakan
Kampanye Sekolah Ramah Anak menekankan pentingnya lingkungan belajar yang sehat dan aman. Namun, lemahnya penerapan KTR di sekolah justru menjadi titik lemah dari semangat perlindungan anak tersebut.
Seorang pengurus OSIS di SMPN 3 mengaku dirinya dan teman-temannya sering merasa khawatir.
“Mami tahu merokok itu berbahaya. Tapi kalau lingkungan sekitar sekolah permisif, kami juga bingung. Kami butuh lingkungan yang mendukung untuk hidup sehat.” Ujarnya.
Saatnya Melibatkan Suara Anak dan Mendorong Evaluasi
Dengan diberlakukannya Perda Reklame No. 3 Tahun 2023 yang melarang iklan rokok di ruang publik, termasuk di sekitar sekolah, seharusnya menjadi titik balik penguatan pengendalian tembakau secara menyeluruh di Surakarta.
Peliputan ini bertujuan untuk mengangkat suara siswa dan guru sebagai aktor kunci dalam pengendalian rokok di sekolah, serta mendorong Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan untuk memperkuat pengawasan dan pendampingan implementasi KTR di seluruh satuan pendidikan.






