Bulukumba,kabarjoglo.com,semua masyarakat turut serta menyemarakkan perayaan Hari Kemerdekaan. Seingat saya, sejak dulu, baik kaum laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan Waria sekalipun tak mau ketinggalan untuk “mengisi” momentum kemerdekaan. Nah, kelompok yang terakhir ini selalu tampil dengan gaya yang kreatif, terlebih saat mereka mengikuti kontes gerak jalan.
Kehadiran Waria selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Gaya mereka yang menghibur, mengundang tawa di hari yang bersejarah ini. Kala itu, tak pernah ada yang menanggap penampilan Waria yang berdandan seperti perempuan, berlenggak lenggok di tengah jalan sebagai perilaku amoral dan tidak beretika. Apalagi dianggap “menghina” arti kemerdekaan, hal itu jauh dari pandangan masyarakat.
Di hari yang merdeka, hiburan adalah utama, selain tentu saja kekhidmatan. Waria menghadirkan hiburan tersebut. Hiburan yang ditampilkan oleh satu identitas gender, yang sering diasosiaikan sebagai calabai (sebutan Waria dalam bahasa Bugis). Meski demikian, dalam kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar, Calabai pun memiliki tingkatan tersendiri.
Dalam novel Calabai, karangan Pepy Al-Bayquni, menuturkan tentang penjelasan mengenai calabai dan beberapa tingkatannya tersebut. Calabai yang berada pada tingkatan pertama adalah Calabai Tungkena Lino, mereka adalah laki-laki yang sejak kecil bersifat perempuan, tapi tidak genit. Kedua, Paccalabai, yakni calabai yang genit. Ketiga, calabai kedo-kedo, yakni lelaki tulen yang meniru-niru sifat perempuan.
Waria bisa dilekatkan dalam makna kebudayaan, meskipun jika dipandang dari tingkatan tersebut, fakta di masyarakat bisa cenderung lebih fleksibel. Identitas ini juga, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari perspektif ekonomi. Banyak kasus dimana lelaki tulen secara tiba-tiba meniru-niru sifat perempuan. Mereka menjadi Waria dikarenakan desakan ekonomi.
Hak Waria
Saya pernah menemukan kasus tersebut di sekitar tahun 2005. Sandra, seorang Waria yang saya kenal, dulunya adalah petani jagung di wilayah Kabupaten Bulukumba. Akibat, penurunan harga jagung yang menimbulkan berkurangnya penghasilan sebagai petani, ia lebih memilih merubah dirinya menjadi Waria. Ia kemudian beralih berprofesi sebagai penyedia rias pengantin dan pernah juga bekerja di salon. Kasus seperti ini marak terjadi di Kabupaten Bulukumba pada masa itu, akibat kurangnya lapangan pekerjaan dan profesi petani tak lagi menguntungkan.
Waria telah menjadi bagian hidup masyarakat Bugis-Makassar sejak lama. Kehadiran mereka, bukanlah sebuah aib. Profesi yang mereka kerjakan, tentu sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Waria adalah satu dari sekian identitas partikular yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Mengisi kemerdekaan bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka. Sejak lama, Waria telah berkontribusi di berbagai aspek kehidupan bangsa ini.
Kemerdekaan yang Dirampas dari Waria
Beberapa hari terakhir, menjelang Hari Kemerdekaan, frasa kita seolah jadi milik kelompok tertentu. Kelompok yang mengatasnamakan kemerdekaan sebagai milik satu-satunya dan caranya lah yang dinilai paling tepat. Polemik itu semakin pelik, ketika jauh menyangkut persoalan etik dan moral. Salah satu identitas yang mencoba “mengisi” kemerdekaan dengan caranya sendiri, dianggap tidak mencerminkan nilai budaya – menurut perspektif kelompok tersebut.
Kaum waria di Kabupaten Bulukumba mendapat penolakan keras untuk ikut menyemarakkan Hari Kemerdekaan RI ke-72, dari kelompok da’i muda di Kabupaten Bulukumba beberapa waktu lalu. Para da’i muda ini meminta agar Pemerintah setempat, tidak memberi ruang bagi Waria, untuk sekadar “mengisi” kemerdekaan. Penolakan ini didasarkan atas anggapan bahwa pria yang berdandan seperti wanita telah melanggar syariat islam.
Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, kehadiran Waria tidak pernah mengalami penolakan sama sekali. Bahkan, kehadiran mereka selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Persoalan yang diangkat terkait penolakan ini, juga dari sisi pakaian Waria yang ketika melakukan gerak jalan dianggap menyalahi aturan moral dan etik.
Alasan yang dilontarkan para da’i muda tersebut, menurut Arif Nur Safitri, Pembina Pesantren Waria Jogja, dianggap tidak mencerminkan pehamanan akan sejarah islam yang memadai.
“Kalau ada yang mengganggap eksistensi Waria merusak moral, itu artinya mereka kurang paham dengan sejarah islam. Di masa golden age Islam yakni pada masa Abbasiyah dan Turki Usmani, keberadaan mereka sangat diterima. Bahkan banyak yang punya peran dalam kerajaan. Mulai dari sebagai kepercayaan Istana, penyair, dan lain-lain,” ujarnya kepada seputarsulawesi, Rabu, 16 Agustus 2016.
Bahkan menurut Dosen Institute Al-Quran Bantul ini, di zaman Rasulullah, keberadaan waria tidak pernah mendapat stigma buruk. “Di masa hidup Nabi Muhammad SAW pun, Waria pernah diterima bahkan bermain ke kamar istri Rasulullah, Aisyah,” katanya.
Penolakan terhadap kaum Waria memang sering kali terjadi, bukan hanya seperti kasus yang terjadi di Kabupaten Bulukumba. Hal itu karena stigma negatif yang masih melekat.
“ Agak sulit kalau sudah bicara LGBT di kalangan awam, bahkan di kalangan da’i. Stigma negative masih melekat kuat.” Jelasnya.
Menurut Arif Nur Safitri, jika yang dipersoalkan juga adalah pakaiannya, hal itu bisa dinegosiasikan. “Kalau masalah pakaian, sebenarnya kan bisa dikompromikan. Termasuk kepada pihak yang keberatan dan pemerintah setempat,” tambahnya.
Melansir dari berbagai media, pemerintah Kabupaten Bulukumba pun sudah merespon hal ini. Bupati Bulukumba, Andi Sukri Sappewali, telah mengizinkan kelompok Waria untuk ikut serta menyemarakkan tujuhbelasan, dengan syarat menggunakan pakaian yang “sopan”.
Hak Waria untuk “mengisi” kemerdekaan memang seharusnya tidak dibatasi oleh kelompok tertentu. Dan pemerintah, semestinya cepat tanggap dalam merespon perilaku kelompok tertentu yang “meminggirkan” eksistensi kelompok yang lain.
Arif Nur Safitri dalam akhir wawancara, menuturkan bahwa di tempatnya, Waria akan menyambut Hari Kemerdekaan dengan melangsungkan upacara bendera. “Kami, pesantren Waria Jogja dan beberapa komunitas Waria, serta jaringan lainnya malah mau merayakan 17 Asustus 2017, besok dengan upacara bendera,” tutupnya.
Waria juga warga negara, punya hak untuk menyemarakkan perayaan tujuhbelasan. Perempuan dalam tubuh lelaki ini – meminjam Pepy Al-Bayquni – punya cara sendiri dalam “mengisi” kemerdekaan. Waria yang selama ini menghibur masyarakat, semoga tak lagi dibungkam kemerdekaannya. Karena bisa saja, waria lebih nasionalis, dari yang kita bayangkan.(red)
sumber seputarsulawesi.com