Kampung Warga Tionghoa Pertama di Solo, Kampung Balong Kelurahan Sudiroprajan Kecamatan Jebres

Solo, Kabarjoglo.com – Pemukiman atau kampung Tionghoa pertama kali ada di kampung Balong  Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Solo .Sebelum menempati Kampung Balong, warga Tionghoa tinggal di sekitaran Pasar Gede, seperti pinggir-pinggir jalan.Kampung Balong itu awalnya merupakan kawasan perkebunan, ada juga pemakaman pada pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta.

Nama Balong itu dari kata balung, jadi saat warga Tionghoa menjadikan kawasan tersebut banyak menemukan balung atau tulang manusia, kemudian berubah menjadi Balong hingga saat ini.

Dalam keterangan Candra Halim Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, menurutnya  dari kacamata sosiologi orang-orang yang tinggal di Kampung Balong termasuk kelompok menengah ke bawah.Aktivitas ekonomi mereka banyak menjadi buruh, kuli, pedagang atau sebagainya. Dulu jumlah orang-orang Tionghoa disitu cukup banyak.Namun, di situ malah hidup harmonisasi antara orang Tionghoa dan orang Jawa.

“Dulu mereka yang tinggal Balong termasuk kelompok menengah ke bawah,” kata  ini.

Pada pemerintahan Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono (PB) X sekitar tahun 1900 an, menempatkan orang-orang Tionghoa di kampung yang sekarang disebut Sudiroprajan.Kemudian kampung tersebut dibangun dengan baik oleh PB X, klenteng yang merupakan tempat peribadatan juga diperbaharui.

Namun, VOC yang waktu itu masih berkuasa memberlakukan Wijkenstelsel atau pemukiman khusus dan Passestelsel atau pembatasan mobilitas dengan pemberlakukan sistem pas jalan.

Biasanya yang dikhususkan dari orang-orang Asia Timur, seperti Tionghoa, Arab, India.Orang Tionghoa ada di Sudiroprajan, orang Belanda ada di Loji Wetan (Sangkrah), dan orang Arab di Pasar Kliwon.Jadi orang-orang Tionghoa dilarang bermukim di luar Sudiroprajan. Mereka semakin diperketat di wilayah Sudiroprajan.

“Kenapa demikian, karena disitu jalur perdagangan. Kalau lihat Kali Pepe itu dulu aktif sebagai lalu lintas transportasi hubungan antara Keraton dengan dunia luar,” jelasnya.

Setelah tahun 1919, sudah tidak lagi diberlakukan Wijkenstelsel dan Passestelse, artinya dibebaskan oleh Belanda. Maka orang-orang Tionghoa, sudah tidak lagi tinggal di dalam Sudiroprajan.Banyak orang-orang Tionghoa itu menyebar di sekitar pusat perekonomian, seperti Coyudan, Ketandan, dan berbagai tempat di Solo.

“Meski banyak yang menyebar, namun Kampung Balong tetap ada dan eksis hingga sekarang,” ucapnya.

Berbaur dengan Orang Jawa Di Kampung Bolon ini hidup orang-orang Tionghoa yang berbaur dengan Jawa. Harmonisasi antara Tionghoa dan Jawa terjaga dengan baik hingga sekarang.

Kehidupan sosial komunitas warga Tionghoa banyak mengalami perubahan, seperti upacara-upacara adat, nama, agama, kesenian, perkawinan, kematian, dan mentalitas.

Perubahan ini disebabkan adanya perkawinan campur dengan Jawa, dan penerimaan kebijakan asimilasi masa Orde Baru.Keberadaan orang-orang Tionghoa di Solo itu dilakukan secara bertahap migrasi. Tidak tahu pastinya sejak kapan kedatangan mereka ke Solo.

Gelombang pertama itu, ada beberapa biksu yang masuk ke Solo. Tapi kedatangan mereka dilakukan secara bergantian.Gelombang kedua, ketika zaman Dinasti Ming, termasuk penyebaran Islam ke Nusantara.Pada gelombang ini mayoritas laki-laki, perempuannya sedikit. Kemudian gelombang ketiga itu, yang datang suami istri.

Makanya kemudian melahirkan apa yang disebut Tionghoa peranakan. Yang di Kampung Balong atau Sudiroprajan dan sekitarnya kebanyakan itu Tionghoa peranakan.

Menurut berbagai kajian, orang-orang Tionghoa sudah ada sejak terjadinya konflik keraton. Di mana melakukan pemberontakan kepada Paku Buwono II dan VOC.Peristiwa pemberontakan tersebut atau disebut geger pecinan terjadi pada 1742.

“Berdasarkan beberapa literasi sekitar tahun 1700 an orang-orang Tionghoa sudah ada di Solo. Pintu masuk kedatangan mereka itu dari Semarang,” jelas dia.

Dulu ketika PB X, ada Bok Teko di Kampung Balong. Di mana dulu buat nongkrong orang-orang Tionghoa.

Ketika itu ada PB X yang meninjau, karena memang PB X suka jalan-jalan. Kemudian PB X ikut berbaur dengan warga bercengkerama serta ngobrol-ngobrol.Bahkan saat masih terdapat Prasasti Bok Teko di wilayah Kampung Balong.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan