SOLO – Cita-cita bangsa menuju Indonesia Emas 2045 bukanlah hal yang mudah untuk dicapai. Dibutuhkan kerja keras dari seluruh rakyat Indonesia untuk mewujudkan kemakmuran yang diimpikan bersama. Pujangga besar Ronggowarsito pernah meramalkan era keemasan bangsa Indonesia sebagai “jaman kalasuba.”
Namun, untuk mewujudkan ramalan tersebut, diperlukan ikhtiar yang besar, mencakup pengorbanan tenaga, pikiran, harta, serta doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Baik negara maupun rakyat harus bergerak bersama dengan visi dan misi yang sejalan.
Perjuangan menuju Indonesia Emas 2045 menghadapi banyak tantangan, termasuk ancaman bencana alam, seperti gempa megathrust yang diramalkan terjadi di Indonesia. Selain itu, Pemilu dan Pilkada serentak turut menguras energi bangsa dan memunculkan riak-riak perpecahan akibat perbedaan pandangan politik.
Tidak hanya itu, manipulasi sejarah dan makam-makam palsu yang disebarkan oleh kelompok tertentu melalui media sosial menambah daftar persoalan. Jika tidak segera ditangani, generasi muda di masa depan berpotensi kehilangan identitas dan karakter bangsa. Mereka dapat menjadi asing terhadap sejarah asli Nusantara, melupakan leluhur mereka, dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penjajahan melalui manipulasi sejarah ini dikhawatirkan akan membawa dampak besar di masa depan. Generasi muda yang terpengaruh akan kehilangan jati diri, bahkan merasa leluhurnya adalah orang asing. Hal ini akan melemahkan semangat nasionalisme serta menghancurkan karakter adiluhung budaya bangsa.
Selain tantangan internal, situasi geopolitik dunia, seperti perang Rusia-Ukraina, juga berdampak pada Indonesia. Dampak ekonomi dan sosial akibat konflik tersebut turut dirasakan, seperti halnya negara-negara lain di dunia.
Menghadapi berbagai tantangan tersebut, sekelompok kyai, tokoh budaya, dan agama dari Perjuangan Walisongo Indonesia Kota Surakarta menggelar umbul donga pada Minggu malam (24/11) di PP As Siroj, Solo. Acara ini bertujuan untuk memohon keselamatan bagi bangsa dan negara Indonesia.
Ketua Perjuangan Walisongo Indonesia Kota Surakarta, Raden Tumenggung Sudrajat Dwijodipuro, menyampaikan bahwa doa juga dipanjatkan untuk para leluhur Nusantara, khususnya pepunden cikal bakal Kota Solo seperti Kyai Ageng Batang atau Raden Pabelan, dan Kyai Gede Solo.
“Doa kami panjatkan agar Kota Solo tetap aman, damai, dan tenteram. Semoga terhindar dari bencana dan perpecahan, serta diberi kemakmuran, siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin,” ujarnya.
Acara tersebut juga diiringi lantunan doa dan kidung tolak balak, serta disertai sedekah berupa sega wuduk dan sega golong. Sega wuduk melambangkan kesucian, yang mengingatkan bahwa setiap doa harus dilandasi dengan niat yang bersih dan tulus. Niat yang suci diyakini mempermudah terkabulnya doa.
Sega golong memiliki makna golong gilig, yaitu kebulatan tekad untuk memohon keselamatan bangsa dan negara. Simbol ini juga mengajarkan kebesaran hati dan kerendahan diri dalam membangun kehidupan bersama demi kelestarian alam semesta (memayuhayuning bawana).
Setelah rangkaian doa selesai, nasi wuduk dan sega golong disantap bersama-sama. Tradisi ini berakar dari ajaran Sunan Kalijaga, yang dahulu sering menyajikan makanan tersebut kepada para tamu. Hingga kini, sega wuduk dan sega golong masih menjadi bagian dari tradisi sedekah dalam berbagai hajat dalem Kerajaan Mataram dan masyarakat Kota Surakarta.
Doa, kebersamaan, dan tekad yang bulat menjadi bekal penting dalam menghadapi tantangan bangsa. Dengan semangat tersebut, Indonesia diharapkan dapat mencapai era kejayaan, Indonesia Emas 2045.