TERLUKA, DIKHIANATI, DITINGGALKAN—ARYA PENANGSANG, KSATRIA YANG MENYULAP DERITA JADI QISOS BERDARAH!

Dari anak yatim politik jadi ksatria pemberontak yang mati dengan usus terburai, inilah kisah heroik yang (masih) mengguncang sejarah Jawa.


“Darah yang tumpah karena pengkhianatan, tak akan hilang ditelan zaman. Ia menuntut keadilan.”
— Warisan lisan dari Tanah Jipang

Di balik debu sejarah yang ditulis para pemenang, ada nama yang sering dipinggirkan, bahkan dicitrakan sebagai pembangkang Arya Penangsang. Namun, siapa sangka, di balik sosok “pemberontak berdarah dingin” ini, tersembunyi luka batin anak bangsawan yang kehilangan segalanya karena konspirasi darah?

Anak Pembesar yang Menyaksikan Pengkhianatan dari Dekat

Arya Penangsang bukan sekadar nama. Ia adalah putra Raden Kikin, calon kuat pewaris tahta Kesultanan Demak. Namun hidupnya berubah ketika sang ayah dibunuh saat berjalan pulang dari masjid, oleh keponakannya sendiri—Raden Mukmin, kelak dikenal sebagai Sunan Prawoto.

Darah yang membasahi tepian Sungai Serang tak hanya merenggut nyawa seorang ayah. Ia juga merenggut masa depan anak kecil bernama Arya Penangsang—yang sejak itu hidup dalam bayang-bayang kehilangan dan dendam.

Didikan Sunan Kudus: Dari Murid Ulama ke Pemimpin yang Tak Gentar

Dibimbing langsung oleh Sunan Kudus, Arya Penangsang tumbuh dalam didikan agama, strategi, dan kepemimpinan. Ia bukan hanya tajam dalam berpikir, tapi juga keras dalam prinsip.

Tapi di balik ketegasannya, api dendam terus menyala. Ia tidak lupa. Ia hanya menunggu waktu.

Balas Dendam atau Tuntutan Qisos?

Ketika dewasa dan kuasa ada di tangan, Arya Penangsang memutuskan untuk menuntut qisos: balasan atas pembunuhan ayahnya, sesuai hukum Islam. Ia mengutus prajurit ke Prawoto. Sunan Prawoto pun tewas, bersamaan dengan istrinya yang memeluknya di saat terakhir.

Apakah ini keadilan? Atau hanya dendam yang dibungkus dalil?

Ratu Kalinyamat Bersumpah, Pajang Menggertak

Ketegangan memuncak. Setelah Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat, juga tewas oleh pasukan Penangsang, sang ratu menyatakan sumpah: tak akan menyentuh sisir atau bedak hingga sang ksatria pembunuh dihukum.

Sementara itu, dari Pajang, Jaka Tingkir—mantu Sultan Trenggana—mempersiapkan langkah yang akan mengubah sejarah tanah Jawa.

Usus Terburai, Tapi Tetap Menggenggam Pedang

Pertempuran pun pecah. Dalam duel yang melegenda, Penangsang terkena tombak Kyai Plered, ususnya terburai. Namun ia tidak roboh. Dengan tubuh terkoyak, ia terus bertarung, mencengkeram senjata, dan tetap menunggang Gagak Rimang—meski kudanya kini tak bisa dikendalikan karena siasat cerdik lawan.

Ia gugur sebagai ksatria sejati: tidak menyerah, tidak lari.

Dari Darah ke Dinasti

Kematian Arya Penangsang menandai tamatnya Demak dan lahirnya Pajang. Namun kisahnya tetap hidup: sebagai pengingat bahwa keadilan kadang dibayar mahal, bahkan dengan usus sendiri.


“Bisa jadi sejarah menyebutnya pemberontak. Tapi bagi mereka yang tahu luka warisan, ia adalah martir keadilan.”
— Sejarawan Lisan, Tanah Jipang

Pos terkait

Tinggalkan Balasan