SOLO, Kabarjoglo.com – Perjuangan Keraton Surakarta yang di wakili oleh lembaga dewan adat untuk mengembalikan daerah khusus Surakarta, nampaknya harus melewati jalan terjal dan berliku.
Hal tersebut di sampaikan oleh Drs.R Surojo, pegiat sejarah dan budaya asal Soloraya saat acara sarasehan budaya yang di selenggarakan oleh Brayat Ageng Kyai dan Santri Walisongi di Ponpes Kyai Ageng Sela, Tulung, Klaten.
Selain terganjal perundang undangan yang ada, di dalam internal keraton sendiri masih belum satu suara.
Di katakan Surojo, embrio Daerah Istimewa Surakarta ( DIS) berawal dari rapat PPKI tentang penetapan wilayah wilayah Propinsi di Indonesia yang berjumlah 10 yaitu, Jabar, Jateng, Jatim, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, Sumatera, DIS dan DIY.
Tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno menyerahkan piagam kedudukan kepada AA Maramis dan MR. Sartono. Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Sinuhun PB XII bersama KGPAA MN VIII mengeluarkan maklumat bergabungnya Surakarta ke dalam NKRI.
Pada tanggal 15 Juli 1946, Pemerintahan Soekarno memberikan landasan hukum bagi DIS dan DIY berupa penetapan Pemerintah Nomor 16/SD 1946 sebagai bentuk dari amanat pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 yang mengharuskan daerah istimewa di atur dengan undang undang.
‘Akan tetapi karena situasi dan kondisi saat itu yang tidak kondusif, rupanya belum bisa di lakukan.’ Ujar Surojo dalam paparanya.
Karena muncul kelompok gerakan anti swapraja di Surakarta bernama Persatuan Perjuangan yang di prakarsai oleh Tan Malaka, di dukung para tokoh seperti Buntaran, Abikusno, Iwa Kusuma Sumantri dan Mayjen Soedarsono.
Surakarta di pilih basis oposisi untuk menggoyang Pemerintahan RI yang di pimpin oleh Sutan Syarir. Keraton Surakarta kala itu di anggap sebagai penghalang gerakan oposisi yang ingin menguasai negara.
Puncaknya pada bulan Juni 1946 gerakan oposisi antiswaprja menculik PB XII dan KGPH Suryohamijaya untuk tidak meneruskan pemerintahan DIS.
Kekacauan sosial politik di picu oleh kelompok oposisi yang menuntut penghapusan DIS dan meminta penggantian PB XII sebagai kepala DIS.
Puncaknya, gerakan oposisi menculik Patih Sosrodiningrat V dan melakukan pembumihangusan kepatihan dan membakar seluruh arsip arsip penting negara.
‘Dampak dari hilangnya status DIS, Keraton sebagai lembaga pemangku adat dan budaya nyaris tidak terpelihara dengan baik. Bangunan dan benda benda bersejarah yang ada rusak karena ketiadaan anggaran perawatan.’ Ujarnya
Konstelasi politik praktis imbuh Surojo, juga membawa dampak hubungan personal kurang baik antar keluarga keraton.
Terlepas dari usaha para keluarga Keraton yang ingin mengembalikan status daerah khusus Surakarta, Keraton sebagai pemangku adat dan budaya tentunya harus kita jaga dan lestarikan keberlangsunganya.
Apalagi saat ini keraton memiliki peran sangat penting dalam menjaga karakter dan jati diri bangsa.
Yang sama, Ketua Pelaksana sekaligus pengasuh Ponpes Kyai Ageng Sela, Kyai Heri Sarwoko Rekso Pujadipura menyampaikan alasan di gelarnya sarasehan budaya adalah untuk memberikan edukasi kepada para generasi muda, khususnya di kalangan pesantren.
Sejarah merupakan bagian dari perjalanan sebuah bangsa yang harus kita jaga. Meski di dalamnya ada kelam dan terang, namun semua peristiwa adalah catatan sejarah. Jangan sampai kita sebagai penerus bangsa hanya diam saja melihat catatan para leluhur di gelapkan.
Pesantren saat ini memiliki andil sangat besar dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara. Peran pesantren tidak hanya di bidang keagamaan saja, akan tetapi juga sosial, ekonomi dan budaya.
Oleh karena itu penguatan budaya dalam jaringan pesantren harus kita lakukan, guna menjaga keberlangsungan sejarah yang ada, pungkas pengasuh PP Kyai Ageng Sela. (Djk/r)