Setelah sang bos dijerat kasus korupsi kredit, ribuan buruh yang terkena PHK dari Sritex menanti kejelasan pesangon. Kurator mulai bicara, tapi janji belum cukup.
Solo – Pagi itu, BRM Kusumo Putro baru saja selesai mendampingi buruh korban PHK dari PT Sri Rejeki Isman Tbk lebih dikenal sebagai Sritex di Solo. Dari ratusan wajah lelah yang ia temui, satu pertanyaan terus mengemuka: kapan pesangon kami dibayar?
Sejak Direktur Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, diciduk Kejaksaan Agung pada awal Mei 2025, suasana di kalangan mantan pekerja mendidih. Kasus yang menjerat Iwan bukan perkara kecil. Ia diduga menyelewengkan dana kredit dari sejumlah bank pelat merah, jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Sementara itu, nasib para buruh yang diberhentikan diam-diam tanpa kejelasan, tertinggal di lorong gelap.
“Kami khawatir penangkapan ini akan dijadikan alasan untuk menunda-nunda kewajiban perusahaan kepada para eks pekerja,” kata Kusumo kepada Kabarjoglo, Sabtu, 24 Mei 2025.
Menurut data yang dihimpun LAPAAN RI, total hak-hak buruh yang belum dibayarkan meliputi pesangon, THR, hingga simpanan koperasi menyentuh Rp337 miliar. Jumlah pekerja terdampak mencapai 8.475 orang, mayoritas adalah buruh tekstil yang telah mengabdi bertahun-tahun.
Pada Jumat, 23 Mei 2025, Denny Ardiansyah dari tim kurator akhirnya angkat bicara. Ia menyatakan bahwa proses pencatatan dan verifikasi tagihan buruh Sritex akan segera dilakukan. Prosedur itu, menurutnya, menjadi tahap awal menuju penyelesaian utang perusahaan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Namun bagi para buruh, janji itu belum cukup. Kusumo mendesak agar kurator tak berhenti pada administratif belaka.
“Kami tidak ingin ini sekadar formalitas. Jangan cuma menenangkan situasi setelah kasus Iwan mencuat. Buruh menanti bukti, bukan janji,” ujarnya.
Kusumo juga mengingatkan, pembayaran tidak bisa disamaratakan. Buruh yang bekerja 20 tahun tentu tidak bisa disamakan dengan mereka yang baru dua tahun masuk. Begitu pula soal simpanan wajib koperasi yang selama ini dipotong dari gaji, tapi tak pernah kembali.
Sritex bukan nama kecil. Perusahaan yang berdiri sejak 1966 itu pernah menjadi raksasa tekstil Asia Tenggara. Mereka mengekspor seragam militer ke lebih dari 30 negara. Namun sejak pandemi COVID-19, arus keuangan perusahaan mulai tersendat. Restrukturisasi utang ke sejumlah bank dilakukan, tapi belakangan justru menyeretnya ke jurang perkara hukum.
Kusumo menyebut, pemerintah daerah dan provinsi tak boleh tinggal diam. “Ini bukan cuma soal uang. Ini menyangkut hak dasar pekerja yang dijamin konstitusi,” kata dia.
LAPAAN RI berjanji akan terus mengawal proses ini. Mereka bersurat ke Kementerian Ketenagakerjaan, Komisi Yudisial, hingga Otoritas Jasa Keuangan, agar proses hukum tidak memupus keadilan sosial.
“Pemerintah jangan hanya mengejar kerugian negara. Negara juga punya utang moral pada rakyat kecil yang telah menjadi tulang punggung industri,” ujar Kusumo.
Senja turun di halaman rumah-rumah sempit para eks buruh Sritex. Banyak yang kini beralih profesi jualan makanan, ojek daring, atau sekadar menunggu bantuan sembako dari tetangga. Tapi di mata mereka, harapan belum pudar. Mereka hanya ingin satu: hak mereka dibayar.