Gelombang Desakan Arus Bawah PSHT: “Tuntaskan Teror Kekerasan di Baki, Hukum Jangan Mandek!”

Sukoharjo – Sejumlah perwakilan Arus Bawah Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Solo Raya mendatangi Mapolres Sukoharjo untuk mendesak penuntasan kasus penganiayaan brutal terhadap empat warga PSHT di Baki. Satu bulan berlalu sejak insiden terjadi, belum ada satu pun pelaku yang ditangkap. Pertanyaan pun menggantung: sampai kapan keadilan hanya menjadi wacana?

Kasus Kekerasan Berulang, Kepercayaan Mulai Terkikis

Bacaan Lainnya

Jumat dini hari, 4 Juli 2025. Jalan Raya Bale Padi, Manang, Desa Bakipandeyan, Kecamatan Baki, menjadi saksi bisu kebiadaban sekelompok orang tak dikenal yang menyerang empat warga PSHT tanpa ampun. Bacokan senjata tajam menghantam tubuh para korban. Satu di antaranya kini masih dirawat intensif di rumah sakit. Sementara yang lainnya, meski telah pulih secara fisik, masih dihantui trauma mendalam.

Namun hingga awal Agustus ini, belum ada titik terang. Kasus ini pun bukan yang pertama. Dalam catatan Arus Bawah PSHT, rentetan kekerasan serupa terus menghantui wilayah Sukoharjo dan sekitarnya sejak tahun 2020. Mulai dari Makamhaji, perbatasan Pajang, Mojolaban, RS Dr. Oen Baki, hingga terbaru di Baki Manang semua terjadi dalam pola serupa: aksi tiba-tiba, korban dari PSHT, dan pelaku selalu tak tersentuh.

“Enam titik kejadian, nol pelaku terungkap. Ini bukan kebetulan. Ini sistemik. Dan ini harus dihentikan,” tegas Dr. BRM Kusumo Putro, perwakilan Arus Bawah PSHT Solo Raya dalam konferensi pers usai audiensi bersama perwakilan Polres Sukoharjo, Selasa siang (5/8).

Desakan Dibalas dengan Satgas, tapi Kapan Aksi Nyata?

Dalam pertemuan yang tidak dihadiri langsung oleh Kapolres, pihak PSHT ditemui jajaran dari Intelkam dan Satreskrim. Diberitahukan bahwa Polres Sukoharjo telah membentuk Satgas Khusus untuk menangani kasus ini. Namun, Arus Bawah PSHT tak sepenuhnya puas.

“Kami masih 50 persen percaya. Karena hasilnya belum nyata. Kami butuh kejelasan, bukan janji,” ungkap Kusumo di hadapan ratusan anggota PSHT yang hadir. Ia menambahkan bahwa bila dalam waktu dekat tak juga ada penangkapan, mereka akan mendorong DPRD Kabupaten Sukoharjo untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kapolres.

Desakan ini lahir dari rasa frustrasi kolektif. Sebab, menurut KUHP Pasal 351, penganiayaan adalah delik biasa, yang berarti bisa diproses tanpa harus menunggu laporan dari korban. Aparat memiliki dasar hukum untuk bertindak lebih cepat dan proaktif.

“Kalau polisi tak bisa menjamin rasa aman, kepada siapa lagi rakyat harus berlindung?” ujar salah satu warga PSHT dalam orasi damai yang dilakukan usai audiensi.

DPRD Didorong Turun Tangan

Kegeraman Arus Bawah PSHT tidak hanya ditujukan kepada kepolisian, namun juga kepada lembaga legislatif. Mereka mendesak DPRD Sukoharjo mengambil peran aktif dalam pengawasan fungsi aparat penegak hukum, khususnya dalam persoalan Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat).

“DPRD adalah representasi rakyat. Mereka punya tanggung jawab moral dan politik untuk bertanya: ada apa dengan penegakan hukum di Sukoharjo?” tandas Kusumo.

Rencananya, surat resmi permohonan audiensi dengan DPRD akan dilayangkan pekan ini, disertai dokumentasi dan kronologi enam kasus yang belum terungkap. PSHT berharap langkah ini dapat menjadi tekanan politik agar aparat bergerak lebih sigap.

Keadilan Sosial, Bukan Privilege Elit

Dalam banyak kasus serupa di Indonesia, korban kekerasan kerap berasal dari kelompok sosial yang tidak memiliki kekuatan akses atau suara. PSHT sebagai organisasi besar dengan akar massa yang kuat, menyuarakan keresahan yang mencerminkan kondisi masyarakat bawah secara umum: harapan akan hukum yang adil dan tak berpihak.

“Negara ini negara hukum, bukan negara penonton. Pelaku harus ditangkap, diadili, dan dihukum sesuai hukum yang berlaku,” tegas Kusumo, disambut teriakan “Setuju!” dari massa PSHT.

Penutup: Bukan Soal Gengsi, Ini Soal Nyawa

Tragedi Baki hanyalah puncak dari gunung es. Arus Bawah PSHT tak lagi menuntut dengan emosi, tapi dengan akal sehat: transparansi proses, ketegasan penegakan hukum, dan jaminan rasa aman. Karena dalam negara hukum, ketidakadilan bukanlah kelalaian melainkan kejahatan yang lain bentuknya.

Jika kekerasan terus dibiarkan tanpa penyelesaian, maka tidak hanya korban yang terluka, tetapi juga martabat penegakan hukum itu sendiri.

“Jangan sampai penganiayaan menjadi budaya. Jangan sampai pembiaran menjadi norma baru.” Arus Bawah PSHT Solo Raya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan