Dr.Eko Joko Trihadmono, M.Pd. SMKN 8 Surakarta : Posisi Bahasa Jawa dalam  Pernikahan Adat Jawa

????????????????????????????????????
Dr.Eko Joko Trihadmono, M.Pd. Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMK Negeri 8 Surakarta

Manusia dalam meniti kehidupan selalu mengalami siklus hidup yang sama yakni sejak lahir sampai akhirnya ia harus menghadap kepada Tuhan yang menciptakannya. Metu,Manten, Mati ‘lahir,nikah,mati, adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan. Sebagai makhluk yang berbudaya, manusia melakukan upacara-upacara  adat sesuai dengan kebudayaan masing- masing, seperti upacara kelahiran, upacara pernikahan, dan upacara kematian. Di dalam setiap upacara tersebut, keberadaan sebuah bahasa sebagai alat komunikasi, sangatlah diperlukan.

Manusia  sebagai makhluk sosial tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain, mereka ingin berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya, ingin mengungkapkan ide, perasaan dan isi hatinya, bekerjasama, minta tolong dan sebagainya. Untuk itulah manusia membutuhkan bahasa. Bahasa menurut Halliday (dalam Leech 1993 : 86), memiliki tiga fungsi yaitu:

  1.  Fungsi ideasional : bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan menginterpretasi pengalaman dunia.
  2. Fungsi interpersonal : bahasa berfungsi sebagai pengungkapan sikap penutur dan sebagai pengaruh pada sikap perilaku petutur.
  3. Fungsi tekstual : bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengkonstruksi atau menyusun sebuah teks.

Masyarakat Jawa atau orang Jawa, khususnya yang bertempat tinggal di Surakarta, dalam melaksanakan pesta pernikahan putra-putrinya mereka akan merasa bangga kalau menggunakan  dengan adat istiadat Jawa. Kenyataan semacam ini bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya Jawa atau sebagai orang Jawa bersikap ‘rumangsa melu andarbeni’merasa ikut memiliki’ serta ‘rumangsa melu angrungkebi’merasa ikut memelihara’.Namun dalam pelaksanaannya, biasanya  diserahkan kepada orang yang betul-betul profesional di bidang adat istiadat pernikahan dan pranata Jawa, agar prosesi pernikahan putra-putri mereka berjalan secara profesional.

Rangkaian upacara pernikahan adat Jawa  di Surakarta secara urut dan lengkap adalah mulai dari selamatan awal, niat hajat pernikahan, memasang tarub (tenda), nyantri,pingitan, nyekar, walimahan, siraman, serah-serahan, lamaran lengkap (tukar cincin), midodareni, akad nikah, temu (panggih).  Upacara pernikahan tersebut tidak lepas dari  munculnya rangkaian kata-kata untuk mengungkapkan gagasan pada setiap mata acara. Adapun mata acara yang terdapat dalam  pernikahan adat Jawa adalah lamaran ‘melamar’,siraman ‘mandi’, pasrah panampi ‘serah terima’, ijab qobul ‘akad nikah’, pambagyaharja ‘ucapan selamat datang’, sabdatama ‘nasihat pengantin’. Setiap kata-kata yang tersusun pada rangkaian mata acara tersebut biasanya menggunakan bahasa indah yang mampu menggugah dan menyentuh rasa. Contoh pada acara lamaran’melamar’:

“Anggen kula sakadang keraya-raya sowan ing ngarsanipun bapak/ibu, badhe minangkani panangisipun anak kula, pun si Fulan bebasan anak polah bapakepradhah. Wosipun kula  badhe nyuwun keng putra gendhuk Lanjar badhe kula emah-emahaken kaliyan anak kula si Fulan,…”

Kami sekeluarga dengan rendah hati menghadap bapak/ibu, ingin menuruti niat anak kami si Fulan. Selaku orang tua kami ingin membahagiakan anak kami untuk melamar si Lanjar sebagai istri si Fulan anak kami’.

Menurut Chaer (1995 : 4), setiap kegiatan kemasyarakatan manusia, mulai dari pemberian nama pada bayi yang baru lahir, sampai upacara pemakaman jenazah tentu tidak  akan terlepas dari penggunaan bahasa. Hal ini  membuktikan bahwa bahasa merupakan roh dari sebuah tuturan.

Penggunaan bahasa yang biasa digunakan dalam suatu kegiatan kemasyarakatan seperti upacara-upacara adat dalam masyarakat Jawa disebut pidato.  Pidato tersebut dalam upacara-upacara adat Jawa, khususnya resepsi pernikahan, biasanya menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Bahasa Jawa itu sendiri kalau dihayati dengan menggunakan rasa, sebenarnya merupakan jenis bahasa yang tidak hanya menampilkan tata tingkat, tetapi justru yang sangat penting menampilkan kualitas etik dan estetik yang tinggi, bahkan telah mencapai tataran seni yang pantas dibanggakan.

Surakarta lebih populer dengan sebutan Soloraya, yang meliputi Surakarta, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Sragen, Karanganyar dan Wonogiri, merupakan bukti tempat kehidupan budaya dan adat Jawa sertaperadaban orang Jawa yang berakardari Keraton. Misalnya upacara  pernikahan masih menggunakan adat Jawa, dengan prosesi menggunakan protokoler bahasa Jawa ragam krama, masih sering dijumpai di wilayah Soloraya.Dalam sebuah pesta pernikahan adat Jawa pasti ada pambiwara’protokol’ dan pamedarsabda ‘petugas pidato’.

BahasaJawa yang digunakan padaupacara adat Jawa dalam hal ini resepsi pernikahan,  biasanya bahasa Jawa ragam krama. Pemilihan kata-kata mengacu kepada basa rinengga ‘bahasa indah’, bertujuan agar menyenangkan para tamu yang hadir pada resepsi tersebut. Segi keindahan bahasa juga ditonjolkan dalam tuturan sebuah pidato. Petugas pidato sengaja dipilihkan seorang yang piawai dalam bahasa Jawa.

Definisi Pidato

Pidato adalah berbicara secara terstruktur  dan disampaikan secara langsung di muka orang banyak dengan tujuan tertentu. Pidato dalam kegiatan seremonial bisa dikatakan sebuah mata acara tersendiri. Misalnya dalam acara seminar, sarasehan, dialog, sambungrasa, wisuda, dengan catatan semua menu acara berisi pidato atau sambutan.  Sedangkan pidato menurut Purwadi (2000 : 2), adalah salah satu pekerjaan untuk menjabarkan suatu gagasan, informasi terhadap orang banyak dan mempunyai tujuan untuk menjelaskan pengertian kepada orang banyak serta sebagai rayuan.

Pidato dalam bahasa Jawa sering disebut Sesorah atau Tanggap Wacana.

Tanggap Wacana (pidato) inggih punika ngendika wonten ing sangajenging tiyang kathah. Ingkang gamblangipun ngendika wonten ing sangajenging tiyang kathah kanthi maksud ingkang gumathok (Panuntun, 2002 : 1).

Tanggap wacana (pidato) adalah berbicara dimuka umum. Terangnya, berbicara di depan orang banyak dengan maksud yang jelas. Sedangkan Prawiroatmojo (1994: 206), menjelaskan sorah berarti gambaran, perumpamaan, sindiran ; cerita, pidato ; sesorah berarti pidato, dakwah ; disesorahi berarti di nasihati.

Menurut Sutardja Atmasandjaja (2006 : 13), pidato adalah menyampaikan gagasan atau pendapat secara lisan di hadapan orang banyak. Dan orang yang berpidato itu harus terampil dan menyenangkan pendengarnya.  Dalam hal ini seseorang yang berpidato dituntut untuk mempersiapkan dan memilih kata-kata yang tidak menimbulkan kerancuan arti, sehingga tuturan dalam pidato tersebut mudah ditangkap oleh mitra tutur. Pidato atau sambutan  adalah cara seseorang menyampaikan penyajiannya berupa kata-kata yang keluar dari mulutnya terhadap pendengarnya untuk dibawa pulang dan ditangkap sebagai pesan (Obsorne, 2004 )

Sesorah atau pidato adalah salah satu sarana untuk berkomunikasi dalam kehidupan manusia, baik dalam fungsinya sebagai makhluk pribadi maupun makhluk sosial (Purwandari, 2007 : 32). Sedangkan Rama Sudi Yatmana (2000 : 16), menyebut pidato dengan istilah medhar sabda atau sesorah yang artinya menyampaikan gagasan, amanat dan pesan kepada sesama. Menurut pernyataan tersebut bahwa petugas pidato harus maengetahui situasi dan kondisi dalam sebuah resepsi. Oleh karena itu sesorah atau pidato harus memperhatikan lima hal yaitu:(1) siapa yang menyampaikan pidato;(2) siapa yang menanggapi pidato; (3) siapa dan apa yang diutarakan dalam pidato; (4)bagaimana suasananya (tempat, waktu, dan keadaan), dan (5) apa maksud dan tujuan pidato (Yatmana, 2000 : 19).

Dalam hal ini Culloght (1986 : 7), menyarankan agar seseorang yang akan berpidato dituntut menguasai ‘empat keharusan’ yaitu :

(1) pengetahuan, maksudnya pembicara harus mengetahui pokok pembicaraan;

(2) ketulusan,maksudnya pembicara harus yakin pokok bahasan yang dibicarakan;

(3) semangat, maksudnya permbicara memiliki semangat berbicara;

(4) praktek, maksudnya dalam setiap kesempatan agar digunakan sebaik-baiknya untuk tampil berpidato.

Menurut Soeseno (1992 :1), dalam sesorah ‘pidato’ hendaknya memilih bahasa (Jawa) yang indah agar menarik dan tidak membosankan bagi pendengar. Pidato yang indah bahasanya, ringkas dan tidak membosankan adalah merupakan ruhnya acara dalam sebuah resepsi. Selain pernyataan diatas, bahwa seorang petugas pidato dalam resepsi dituntut pandai memilih kata-kata, bahasanya mudah dimengerti,  dengan teknik pidato yang praktis, tidak mengulang-ulang kalimat atau kata-kata serta tidak bertele-tele.

            Pidato mempunyai banyak jenis sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya, misalnya dalam upacara-upacara, resepsi, khitanan, upacara tradisional, rapat-rapat, ceramah, penyuluhan, konferensi, sarasehan, kuliah umum, wisuda dan lain-lain. Panuntun (2002 : 1)  membedakan tujuan pidato menjadi tiga macam :

  • Pidato yang mempunyai tujuan memberi informasi kepada orang lain. Untuk tujuan ini, yang paling diutamakan adalah pendengar dapat dengan mudah memahami apa yang dibicarakan oleh penutur.
  • Pidato yang bertujuan memberi hiburan kepada orang lain. Untuk tujuan ini, yang paling diutamakan mampu membangkitkan rasa senang dan tenang bagi pendengar.
  • Pidato yang mempunyai tujuan mempengaruhi pendengar supaya memiliki keinginan dan bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penutur. Untuk tujuan ini, yang paling diutamakan adalah kepercayaan pendengar terhadap apa yang telah disampaikan penutur dan dengan ikhlas mau melakukan sesuatu hal seperti yang diungkapkan penutur.

Meskipun pidato memiliki tiga perbedaan tujuan tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam satu pidato memiliki lebih dari satu tujuan. Hal ini disebabkan karena pidato mempunyai banyak jenis, tata cara penyampaian pun dilaksanakan dengan bermacam-macam pula.

Jenis-jenis pidato yang terdapat dalam resepsi pernikahan pengantin adat Jawa secara ringkas dan baku adalah; (1) Pasrah Manten Kakung ‘menyerahkan pengantin pria’ ; (2) Panampi Maten Kakung ‘menerima pengantin pria’ ; (3) Pambagyaharja ‘ucapan selamat datang’dan Sabdatama ‘nasihat pengantin’. Selain itu pidato disampaikan melalui berbagai model antara lain; (a) teknik hapalan; (b) membawa teks naskah; (c) dengan spontanitas; (d) dengan ekstemporan atau dengan membawa catatan kecil (Purwadi, 2000 :14).

 

Pidato Hubungannya dengan Upacara Pernikahan Adat Jawa

Secara kultural, upacara perkawinan adat Jawa pada umumnya disampaikan dan di isi oleh serangkaian pidato yang disebut sebagai Tanggap Wacana atau Sesorah. Rangkaian acara dalam suatu upacara perkawinan Jawa di lengkapi dengan pidato yang disampaikan dua cara, yaitu upacara perkawinan yang dilaksanakan bersamaan dengan akad nikah dan upacara perkawinan yang dilaksanakan tidak bersamaan dengan akad nikah. Adapun contoh rangkaian acara upacara perkawinan yang dilaksanakan bersamaan dengan akad nikah adalah:

  1. Pembukaan
  2. Serah terima calon pengantin laki-laki (pasrah panampi).
  3. Akad Nikah
  4. Bertemunya pengantin laki-laki dan perempuan (dhaup/panggih).
  5. Upacara adat
  6. Pambagyaharja
  7. Kirab
  8. Wasitaadi
  9. Penutup

Sedangkan rangkaian acara upacara perkawinan adat Jawa yang dilaksanakan setelah akad nikah, yaitu :

  1. Pembukaan
  2. Serah terima pengantin laki-laki (pasrah panampi).
  3. Bertemunya pengantin laki-laki dan perempuan (dhaup/panggih).
  4. Upacara adat
  5. Pambagyaharja
  6. Kirab
  7. Wastaadi
  8. Penutup

Rentetan acara dalam upacara perkawinan tersebut diisi dengan adanya pidato dengan menggunakan bahasa Jawa. Jenis-jenis pidato disesuaikan dengan isi dan maksud dari acara yang sedang berlangsung dari upacara perkawinan adat Jawa tersebut.

Pidato yang baik hendaknya mengacu kepada Prinsip Kerja Samaatau PKS inidicetuskan Grice,dengantujuan agar percakapanataukomunikasiberjalanlancar, efektif, danefisien. Grice(1975) menjabarkan PKS kedalamempatmaksim, yaitumaksimkuantitas, maksimkualitas, maksimhubungan (relasi), danmaksimcara. Berikutinipaparanempatmaksimdidalam PKS.

  1. Maksimkuantitas yang meliputidua sub maksim, yaitu (a) berikaninformasiseinformatifmungkinsesuai yang diperlukan, dan (b) janganberikaninformasi yang lebihdari yang diperlukan.
  2. Maksimkualitas yang terdiriatasdua sub maksim, yaitu (a) tidakmengatakansesuatu yang tidakbenar, dan (b) tidakmengatakansesuatu yang tidakmemilikicukupbukti.
  3. Maksimhubungan (relasi), yaitumemberiinformasi yang relevan.
  4. Maksimcara, yang diberikankedalamempatmaksim, yaitu (a) menjauhipengungkapan yang tidakjelas, (b) menjauhikeambiguan, (c) menyatakansecarasingkat, dan (d) menyatakansecarateratur.

Jikakeempatmaksim di atasdipenuhi, komunikasiatauinteraksi verbal menjadiefektifdanefisien.Akan tetapi, dalaminteraksi verbal sehari-haripenuturtidakselaluataubahkanseringmelanggarmaksim-maksim yang terdapatdalam PKS.Jikahaliniterjadi, makaapa yang diungkapkanpenuturituadalahapa yang tersirat, yang terimplikasi. Fenomenatersebutoleh Grice disebutimplikatur.Dengandemikian, implikaturitumunculjikaadamaksim-maksim yang tidakdipatuhiolehpenutur.

. Selain itu secara lebih khusus diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan teori tindak tutur dan teori kesantunan. Bagi masyarakat luas penelitian ini sedikit banyak menjelaskan jenis-jenis pidato dalam sebuah pesta/resepsi pernikahan yang menggunakan adat Jawa.

Tulisan  ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas  tentang penggunaan bahasa dengan melakukan kesantunan berbahasa, terutama pidato dalam resepsi pernikahan. Bagi petugas pidato dalam sebuah resepsi pernikahan, tulisan  ini dapat memberikan pencerahan bahwa sebuah pidato haruslah dikemas dengan rapi, ringkas, dan menyenangkan tanpa mengurangi bobot dan kaidah-kaidah dalam pidato. Bagi masyarakat luas, bahwa sebuah resepsi pernikahan yang  berisi pidato dengan menggunakan  bahasa Jawa ragam krama, dapat memberi pembelajaran untuk berlatih berbahasa Jawa krama walaupun hanya mendengarkan pada resepsi tersebut. Sedangkan bagi praktisi pendidikan, tulisan ini bisa digunakan acuan untuk materi pembelajaran bahasa Jawa bagi para siswanya

 

 

Keterangan:

(Penulis adalah Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMK Negeri 8 Surakarta dan Kandidat Doktor Linguistik Pragmatik Pascasarjana UNS Solo)

                             Sumber Acuan

Atmasandjaja, Sutardja. 2006. Tuntunan Sesorah Saha Panata Titi

Laksana.Yogyakarta : Absolut.

Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik Perkembangan Awal. Jakarta: Rineka Cipta

Culloght, William J.Mc. Teknik Berpidato.(Terjemahan tim).Bandung: Pionir

Jaya.

Grice, H.P. 1975. Login in Conversation dalam P. Cole dan J.L. Morgan (eds.)

Syntax and Semantic.Vol.3 (Speech act) 41-58.

Osborne, John W. 2004.  Kiat Berbicara Di Depan Umum Untuk Eksekutif

(Terjemahan Walfred Andre). Jakarta: PT Bumi Aksara.

Panuntun, S. Rekso. 2002 . Sekar Sumawur. Surakarta: Cendrawasih.

Prawiroatmodjo. 1993. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Haji Mas Agung.

Purwadi. 2000. Puri Kencana : “Hangewrat Tuladha Panatacara Lan

Tanggapwacana Basa Jawi”.Sukoharjo: CV Cendrawasih.

Purwandari, Retno. 2007. Gaya Bahasa Sesorah Panyandra dalam Upacara

Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta: Arindo Nusa Media.

Soeseno. 1992.  Pengantin Surakarta. Karaton Surakarta: Sanggar Pasinaon

Pambirawa Jawa

Yatmana, Rama Sudi. 2000. Tuntunan Kagem Para Pranatacara Tuwin       Pamedhar Sabda. Semarang. Aneka Ilmu

Pos terkait

Tinggalkan Balasan